KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan berlimpah nikmat berupa kesehatan jasmani maupun rohani kepada Kami
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sampai selesai. Sholawat dan
salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi akhir zaman Muhammad SAW.
Kami menyadari tersusunnya makalah ini bukanlah semata-mata hasil
jerih payah kami sendiri, melainkan berkat bantuan berbagai pihak. Untuk itu,
Kami menghaturkan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu Kami dalam penyusunan makalah ini.
Semoga Allah SWT memberikan pahala yang setimpal dan menjadikan amal
sholeh bagi semua pihak yang telah turut berpartisipasi dalam penyelesaian
makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amiin Ya Rabbal’alamin.
Muara Bulian, Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengetian Agama............................................................................... 2
B.
Fungsi Agama di Masyarakat............................................................. 3
C.
Pengertian Negara.............................................................................. 4
D.
Latar Belakang Timbulnya Negara..................................................... 5
E.
Hubungan Agama dan Negara........................................................... 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti
diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam
sejarah peradaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar,
hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada
bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan),
ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah
dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
Diskusi
mengenai agama dan negara masih terus berlanjut di kalangan para ahli. Pada
dasarnya yang diperdebatkan adalah perlu tidaknya campur tangan agama dalam
urusan kenegaraan. Oleh karenanya, kajian terhadap urgensi beragama dan
bernegara menjadi sangat penting. Dari sana kita akan dapat menyimpulkan
sebarapa besar peranan agama terhadap negara. Juga perlu dimengerti pandangan
berbagai ideologi menyangkut masalah ini.
Maka
pada makalah ini akan diuraikan tentang pentingnya bernegara dan beragama.
Dilanjutkan dengan hubungan antara agama dan negara ditinjau dari paham
teokrasi, sekuleris dan komunis. Sehingga nantinya kita dapat menyimpulkan
seberapa penting keterlibatan agama dalam negara.
Orientasi
ke depan adalah kita dapat menjelaskan relasi agama dan negara dalam berbagai
ideologi, mampu menganalisa konsep hubungan agama dan negara dalam Islam serta
dapat mengkritisi hubungan agama dan negara di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Apakah pengertian agama?
2.
Bagaimana fungsi agama di masyarakat?
3.
Apakah pengertian negara?
4.
Apa yang melatar belakangi timbulnya Negara?
5.
Apakah hubungan agama dan Negara?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengetian Agama
Kata
Agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti
kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi
fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau
sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya
tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi
memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya
dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan
itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan
yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian
itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal
dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti
mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian
bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal)
dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal (Sumardi, 1985:71). Agama
itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara
misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam pertemuan itu
manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk
merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat
kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang
harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam
juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang
dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4).
Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin
manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis,
agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan
yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan
Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab
agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin
Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47)
lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau
kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan. Walaupun kedua pandangan
itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata
kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk
mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.
Dengan
agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme,
Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan
Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam
telah dirumuskan agama sebagai berikut: “Agama adalah keprihatinan maha
luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari
yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan
dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan
terhadap alam semesta raya serta isinya” ( Sumardi, 1985:75). Uraian Sijabat ini
menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang Maha
Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam
hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala isinya.
Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu
yang ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah.
B.
Fungsi Agama di Masyarakat
Pengertian
fungsi disini adalah sejauh mana sumbangan yang diberikan agama terhadap
masyarakat sebagai usaha yang aktif dan berjalan secara terus – menerus. Dalam
hal ini ada dua fungsi agama bagi masyarakat diantaranya:
a.
Agama telah membantu, mendorong terciptanya
persetujuan mengenai sifat dan isi kewajiban – kewajiban sosial dengan
memberikan nilai – nilai yang berfungsi menyalurkan sikap – sikap para anggota
masyarakat dan menciptakan kewajiban – kewajiban sosial mereka. Dalam hal ini
agama telah menciptakan sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.
b.
Agama telah memberikan kekuatan penting dalam
memaksa dan mempererat adat istiadat yang dipandang bagus yang berlaku di
masyarakat.
Secara
lebih jauh bahwa fungsi agama di masyarakat dapat dilihat dari fungsinya
terutama sebagai suatu yang mempersatukan. Dalam pengertian harfiyahnya agama
menciptakan suatu ikatan bersama, baik antara anggota masyarakat maupun dalam
kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Karena
nilai-nilai yang mendasari sistem sosial dukungan bersama oleh
kelompok-kelompok keagamaan, maka agama menjamin adanya persetujuan dalam
masyarakat. Agama juga cenderung melestarikan nilai-nilai sosial, maka
yang menunjukan bahwa nilai-nilai keagamaan tesebut tidak mudah diubah,
karena adanya perubahan dalam konsepsi-kosepsi kegunaan dan kesenangan duniawi.
C.
Pengertian Negara
Negara
adalah organisasi yang didalamnya ada rakyat, wilayah yang permanen, dan
pemerintah yang berdaulat. Dalam arti luas, negara merupakan kesatuan sosial
(masyarakat) yang diatur secara konstitusional untuk mewujudkan kepentingan
bersama. Jadi, negara adalah suatu wilayah yang didiami oleh penduduk secara
tetap dan punya sistem pemerintahan.
Secara
etimologi istilah Negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state
(bahasa Inggris), state (Bahasa Belanda dan Jerman) dan etat (Bahasa Prancis),
kata staat, state, etat itu diambil dari kata bahasa Latin status atau statum,
yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki
sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Secara
terminologi Negara diartikan dengan organisasi tertinggi di antara satu
kelompok masyarakat yang mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Secara khusus, pengertian negara dapat diketahui dari beberapa ahli kenegaraan,
antara lain :
1.
Menurut Aristoteles, negara adalah persekutuan
dari keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik - baiknya.
2.
Menurut Karl Mark, negara adalah alat yang
berkuasa ( kaum borjuis/kapitalis ) untuk menindas atau mengeksploitasi kelas
yang lain ( proletariat / buruh ).
3.
Menurut Logemann, negara adalah organisasi
kemasyarakatan ( ikatan kerja ) yang mempunyai tujuan untuk mengatur dan
memelihara masyarakat tertentu dengan kekuasaannya.
4.
Menurut Harold J. Laski, negara adalah suatu
masyarakat yang terintegrasi karena punya wewenang yang bersifat memaksa dan
secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian
dari masyarakat.
5.
Menurut Kranenburg, negara adalah suatu sistem
dari tugas - tugas umum dan organisasi yang diatur dalam usaha mencapai tujuan
yang juga menjadi tujuan rakyat yang diliputinya, sehingga perlu adanya
pemerintahan yang berdaulat.
6.
Menurut Mr. Soenarko, negara adalah suatu
organisasi masyarakat yang mengandung tiga kriteria yaitu ada daerah, warga
negara, dan kekuasaan tertentu.
7.
Menurut Meriam Budiarjo, negara adalah suatu
daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang berhasil
menuntut warganya untuk taat pada peraturan perundang - undangan melalui
penguasaan monopolistis dari kekuasaan yang sah.
D.
Latar Belakang Timbulnya Negara
Asal mula terjadinya Negara berdasarkan
fakta sejarah.
a.
Penduduk (occupatie)
Hal
ini terjadi ketika suatu wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai,
kemudian diduduki dan dikuasai. Misalnya Liberia yang diduduki budak – budak
Negara yang dimerdekakan tahun 1847.
b.
Peleburan (fusi)
Hal
ini terjadi ketika Negara – Negara kecil yang mendiami suatu wilayah
mengadakan perjanjian untuk saling melebur atau bersatu menjadi Negara yang
baru. Misalnya terbentuknya federasi Jerman tahun 1871.
c.
Penyerahan (Cessie)
Hal
ini terjadi ketika suatu wilayah diserahkan kepada Negara lain berdasarkan
sutau perjanjian tertentu.
d.
Penaikan (Acessie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah terbentuk
akibat penaikan lumpur sungai atau dari dasar laut (delta). Kemudian di wilayah
tersebut dihuni oleh sekelompok orang sehingga terbentuklah Negara. Misalnya
wilayah Negara Mesir yang berbentuk dari delta sungai Nil.
Disamping
itu terdapat beberapa teori pembentukan Negara, diantaranya adalah:
a.
Teori Kontrak Sosial
Thomas
Hobbes (1588-1679) mengemukakan bahwa Negara menimbulkan rasa takut kepada
siapapun yang melanggar hukum negara. Jika warga Negara melanggar hukum Negara,
tidak segan – segan Negara menjatuhkan vonis hukuman mati, keadaan
alamiah ditafsirkan suatu keadaan manusia yang hidup bebas dan sederajat
menurut kehendak hatinya sendiri dan mengajarkan hidup rukun, tentram, tidak
mengganggu hidup, kesehatan, kebebasan, dan milik dari sesamanya.
b.
Teori Ketuhanan
Teori
ketuhanan dekenal juga dengan doktrin teokratis dalam teori asal mula Negara.
Teori ini bersifat universal dan ditemukan baik di dunia timur maupun di dunia
barat, baik dalam teori maupun praktik. Diabad pertengahan, Bangsa Eropa
menggunakan teori ini untuk membenarkan kekuasaan raja – raja yang mutlak.
Doktrin ini menggunakan hak – hak raja yang berasal dari tuhan untuk memerintah
dan bertahta sebagai raja (devine right of kings). Doktrin ini lahir
sebagai resultante controversial dari kekuasaan politik abad
pertengahan.
c.
Teori Kekuatan
Teori
kekuatan secara sederhana dapat diartikan bahwa Negara yang pertama adalah
dominasi dari kelompok yang terkuat terhadap kelompok yang terlemah. Negara
dibentuk Negara penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudukan
dari kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah,
dimulailah proses pembentukan Negara.
d.
Teori Organis
Konsep
organis tentang hakikat dan asal mula tebentuknya Negara adalah suatu konsep
biologis yang melukiskan Negara dengan istilah – istilah ilmu alam. Negara
dianggap atau disamakan dengan makhluk hidup, manusia, atau binatang.
e.
Teori Histories
Teori
histories atau teori evolusionistis (gradualistic theory) merupakan
teori yang menyatakan bahwa lembaga – lembaga sosial tidak dibuat, tetapi
tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan – kebutuhan manusia.
E.
Hubungan Agama dan Negara
Negara
dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discoverese)
yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Berikut penulis menguraikan
hubungan agama dan negara menurut beberapa paham.
1.
Hubungan agama dan negara menurut paham
teokrasi
Negara
menyatu dengan agama. Karena pemerintahan menurut paham ini di jalankan
berdasarkan firman-firman tuhan segala kata kehidupan dalam masyarakat bangsa,
Negara di lakukan atas titah Tuhan.
2.
Hubungan agama dan negara menurut paham sukuler
Norma
hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau
firman-firman Tuhan. Meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan
dengan norma-norma agama.
3.
Hubungan agama dengan kehidupan manusia
Kehidupan
manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat
Negara. Sedangkan Agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia,
agama merupakan keluhan makhluk tertindas.
Berbicara
mengenai hubngan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik
untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas beragama
Islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di
kalangan beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka
hubungan agama dan negara dapat digolongkan menjadi dua, diantaranya:
1)
Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat
Antagonistik .
Maksud hubungan
antagonis tikadalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antar
negara dengan Islam sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah
pada masa kemerdekaan dan sampai pada masa
revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat
mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga presepsi tersebut membawa implikasi
keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap
idiologi politik Islam. Hal itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada
2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan Islam dan
Nasionalis.
Gerakan
Nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar yang bersekolah
di Belanda. Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat dan merasa terkesan
dengan kemajuan teknis di Barat. Pada waktu itu pengetahuan agama sangat
dangkal sehingga mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu
menyelesaikan berbagai persoalan. Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis
mengambil jalan tengah dengan mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran
agama dalam wilayah kepercayaan dan agama individu. Akibatnya, aktivis politik
Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama negara pada 1945
serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang
secara politik “minoritas” atau “outsider.”
Di
Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat
dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal
hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan
ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam
di alam Indonesia merdeka. Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis
yangmemungkinkan antara Islam dan negara terus bergulir hingga periode
kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan
jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan
legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian
aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru ( kurang lebih
pada 1967-1987).
Hubungan
agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, di mana negara
betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial dalam menandingi
eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki
ghirah atau semangat yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi
dalam menjalankan pemerintahan.
2)
Hubungan Agama dan Negara yang bersifat
Akomodatif
Maksud
hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama
lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi
konflik( M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam
merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga Negara mengakomodasi islam.
Jika islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik akan sulit
dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI.
Sejak
pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara
mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan
semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah
kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam.
Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas dan memiliki sifat yang berbeda
diantaranya :
§ Struktura,
yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis Islam untuk
terintegrasikan ke dalam Negara.
§ Legislatif ,
misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif terhadap
kepentingan Islam.
§ Infrastructural,
yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan
umat Islam dalam menjalankan “tugas-tugas” keagamaan.
§ Kultural,
misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap islam yaitu menggunakan
idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis maupun politik negara.
Melihat
sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam politik mengalami
dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun, harus diakui Pak Harto
dan kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak hubungan negara dan
Islam politik di Indonesia.
Alasan
Negara berakomodasi dengan Islam pertama, karena Islam merupakan kekuatan yang
tidak dapat diabaikan jikaa hal ini dilakukan akan menumbulkan masalah politik
yang cukup rumit. Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah
figur yang tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman
yang sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya. Ketiga, adanya
perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri.
Sedangkan alasan yang dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua puluh
lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses
mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang berarti dan ditambah adanya transformasi
pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam.
Hubungan
Islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi
akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam Indonesia
ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam
masalah ideologi Pancasila.
Sesungguhnya
sintesa yang memungkinkan antara Islam dan negara dapat diciptakan. Artikulasi
pemikiran dan praktik politik Islam yang legalistik dan formalistik telah
menyebabkan ketegangan antara Islam dan negara. Sementara itu, wacana
intelektualisme dan aktivisme politik Islam yang substansialistik, sebagaimana
dikembangkan oleh generasi baru Islam, merupakan modal dasar untuk membangun
sebuah sintesa antara Islam dan negara.
Dikalangan
cendikiawan muslim, polemic tentang hubungan antara agama dan negara masih
terjadi perbedaan pendapat, di Indonesia, misalnya muncul dua pendapat atau
pandangan yaitu pendapat atau pandangan Nurcholis Madjid dan H.M. Rasjidi.
Nurcholis Madjid mengemukakan gagasan pembaharuan dan mengecam dengan keras
konsep negara Islam sebagai berikut:
“Dari
tinjauan yang lebih prinsipil, konsep “negara Islam” adalah suatu distorsi
hubungan proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi
kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama
adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spritual dan pribadi”. Menurut
Tahir Azhary pandangan Nurcholis ini jelas telah memisahkan antara kehidupan
agama dan negara.
Seorang intelektual muslim terkemuka yaitu M. Rasjidi yang pernah menjabat Menteri Agama dan Duta Besar di Mesir dan Pakistan, serta Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam di Universitas Indonesia dengan sangat segan telah menulis suatu buku dengan judul Koreksi Terhadap Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi. Kritik H.M. Rasjidi terhadap pandangan Nurcholis dikutip oleh Muhammad Tahir Azhary yang berjudul Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa.
Seorang intelektual muslim terkemuka yaitu M. Rasjidi yang pernah menjabat Menteri Agama dan Duta Besar di Mesir dan Pakistan, serta Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam di Universitas Indonesia dengan sangat segan telah menulis suatu buku dengan judul Koreksi Terhadap Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi. Kritik H.M. Rasjidi terhadap pandangan Nurcholis dikutip oleh Muhammad Tahir Azhary yang berjudul Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa.
Dengan
konklusi bahwa dalam batas tertentu, dalam Islam ada juga pemisahan antara
negara dan agama, M.Thahir Azhary berpendapat baik Nurkholis Madjid maupun
Mintaredja telah terjebak ke alam pikiran yang rancu, karena menurutnya, Islam
dapat diartikan baik sebagai agama dalam arti sempit, maupun sebagai agama
dalam arti yang luas. Dengan demikian menurut M, Tahir Azhary , konklusi
Mintaredja sesungguhnya kontradiktif dengan jalan pikirannya sendiri. Kalau
Islam dalam arti yang luas ia tafsirkan sebagai “Way of Life now in the earth
and in the heaven after death”. Konsekuensi logis dari penafsiran itu
seharusnya ialah Islam merupakan suatu totalitas yang komprehensif dan karena
itu tidak mengenal pemisahan antara kehidupan agama dan negara.
Berdasarkan
fakta otentik, jelas bahwa dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasul kehidupan
agama (dalam hal ini Islam) dengan kehidupan negara tidak mungkin dipisahkan.
Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Salah satu doktrin Al-Qur’an yang
memperkuat pendirian ini adalah adanya ayat yang menyebutkan adanya kesatuan
antara hubungan manusia dengan manusia yang terdapat dalam surat Ali Imran,
ayat 112.
Ayat
tersebut diperkuat lagi dengan firman Allah yang terdapat dalam surat An-Nisa’
ayat 58-59 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) menetapkan hubungan
diantara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu sekalian.” (al-Nisa’ :
58-59).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hubungan
antara agama & Negara dalah tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan
agama, karena pemerintah dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala
tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan Negara dilakukan atas titah Tuhan.
Norma
hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau
firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan
norma-norma agama.
Kehidupan
manusia, dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat
Negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia,
dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas
Agama,
secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan
(etimologi) dan sudut istilah (terminology) menurutnya dalam masyarakat
indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan
kata religi dalam bahasa Eropa. Menurutnya, agama berasal dari kata Sanskrit.
Pengertian agama yang dikutip sudah pasti tidak akan mendapatkan kesepakatan
dan hal ini sudah dapat diduga sebelumnya karena sebagaimana dikatakan, bahwa
kita sulit sekali atau mustahil menjumpai definisi yang dapat diterima semua
pihak
Negara,
secara literal istilah Negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni
kata staat, state, etat itu diambil dari kata bahasa latin status atau statum,
yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki
sifat-sifat yang tegak dan tetap. Secara terminology, Negara diartikan dengan
organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai
cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu dan mempunyai
pemerintahan yang berdaulat.
DAFTAR PUSTAKA
Julei,
Wilhelmus dkk (ed), Agama-agama, Kerabat Dalam Semesta, Flores; Penerbit Nusa
Indah, 1994.
Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta; PT Ranaka Cipta,1990.
Mulyono, Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1982.
Mulyono, Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1982.
O’Dea,
Thomas, Sosiologi Agama, Jakarta; CV Rajawali, 1984.
Wach, Jajachim, Ilmu Perbandingan agama, Jakarta; CV Rajawali, 1984.
Wach, Jajachim, Ilmu Perbandingan agama, Jakarta; CV Rajawali, 1984.
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق