KATA
PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
berlimpah nikmat berupa kesehatan jasmani maupun rohani kepada Kami sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini sampai selesai. Sholawat dan salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi akhir zaman Muhammad SAW.
Kami menyadari tersusunnya makalah ini bukanlah semata-mata hasil jerih
payah kami sendiri, melainkan berkat bantuan berbagai pihak. Untuk itu, Kami
menghaturkan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu Kami dalam penyusunan makalah ini.
Semoga Allah SWT memberikan pahala yang setimpal dan menjadikan amal sholeh
bagi semua pihak yang telah turut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah
ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin Ya
Rabbal’alamin.
Muara
Bulian, November 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah ........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Biografi
Khalifah Ali bin Abi Thalib........................................... 3
B. Perang jamal/Onta........................................................................ 5
C. Perang Shiffin dan Tahkim.......................................................... 6
D. Perpecahan Umat Islam................................................................ 9
E. Pengangkatan Hasan Ibn Ali dan ‘Am al-jama’ah....................... 10
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................... 13
B.
Saran ............................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Secara resmi istilah Khulafaur Rasyidin merujuk pada empat orang
khalifah pertama Islam, namun sebagian ulama menganggap bahwa Khulafaur
Rasyidin atau khalifah yang memperoleh petunjuk tidak terbatas pada
keempat orang tersebut di atas, tetapi dapat mencakup pula para khalifah
setelahnya yang kehidupannya benar-benar sesuai dengan petunjuk al-Quran
dan Sunnah Nabi.
Salah seorang yang oleh kesepakatan banyak ulama dapat diberi gelar khulafaur
rasyidin adalah Umar bin Abdul-Aziz, khalifah Bani Umayyah
ke-8
Khulafaur Rasyidin (bahasa Arab: الخلفاء الراشدون) atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat
orang khalifah
(pemimpin) pertama agama Islam,
yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad
setelah ia wafat. Empat orang tersebut adalah para sahabat dekat Muhammad
yang tercatat paling dekat dan paling dikenal dalam membela ajaran yang
dibawanya di saat masa kerasulan Muhammad. Keempat khalifah tersebut dipilih
bukan berdasarkan keturunannya, melainkan berdasarkan konsensus bersama umat
Islam.
Sistem pemilihan terhadap masing-masing khalifah
tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat
menganggap tidak ada rujukan yang jelas yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad
tentang bagaimana suksesi kepemimpinan Islam akan berlangsung. Namun penganut
paham Syi’ah
meyakini bahwa Muhammad
dengan jelas menunjuk Ali bin Abi Thalib, khalifah ke-4 bahwa Muhammad
menginginkan keturunannyalah yang akan meneruskan kepemimpinannya atas umat
Islam, mereka merujuk kepada salah satu Hadits Ghadir Khum.
Setelah Usman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi
Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa
pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun
dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan
khalifah, Ali menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Usman. Dia yakin
bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga
menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan
hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak
tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan Uraian dari Latar Belakang di atas, kami merumuskan
Masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana Biografi Khalifah Ali bin
Abi Thalib?
2.
Bagaimana Mengetahui Perang jamal/Onta dan Perang
Shiffin dan Tahkim?
3.
Bagaimana Mengetahui Perpecahan Umat Islam?
4.
Bagaimana Mengetahui Pengangkatan Hasan Ibn
Ali dan ‘Am al-jama’ah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Khalifah Ali bin Abi Thalib
Ali
dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal
13 Rajab. Menurut
sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad,
sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan).
Muslim
Syi'ah percaya bahwa
Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali
terhadap Nabi Muhammad masih
diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada
yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Beliau
bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang
berarti Singa adalah harapan
keluarga Abu Thalib untuk
mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara
kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir
diberi nama Haydar,
1.
Kehidupan Awal
Ali
dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti As’ad, dimana As’ad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran
Ali bin Abi Thalib banyak
memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur
dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi
kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra
angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah
mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah
bersama dengan Muhammad.
Dalam
biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan
seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada Yesus (Nabi Isa). Dalam
riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian
riwayat Sunni, hubungan
tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
2.
Masa Remaja
Ketika
Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti bin Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang
mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia
sekitar 10 tahun.
Pada
usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW
karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini
berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti
bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani
(spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah
'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan
Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat
yang lain.
Karena
bila ilmu Syari'ah atau
hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua
yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara
masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan
kapasitas masing-masing.
Didikan
langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir
(exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali
menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
3.
Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah
Ali
bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan
menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur
sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah
tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke
Madinah bersama Abu Bakar.
B.
Perang
Jamal/Onta
Dinamakan
perang Jamal, karena dalam peristiwa tersebut, janda Rasulullah SAW dan putri
Abu Bakar Shiddiq, Aisyah ikut dalam peperangan dengan mengendarai unta. Perang
ini berlangsung pada lima hari terakhir Rabi’ul Akhir tahun 36H/657M. Ikut
terjunnya Aisyah memerangi Ali sebagai khalifah dipandang sebagai hal yang luar
biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan Aisyah dan untanya,
walaupun menurut sementara ahli sejarah peranan yang dipegang Aisyah tidak
begitu dominan.
Keterlibatan
Aisyah pada perang ini pada mulanya menuntut atas kematian Utsman bin Affan
terhadap Ali, sama seperti yang dituntut Thalhah dan Zubair ketika mengangkat
bai’at pada Ali. Setelah itu Aisyah pergi ke Mekkah kemudian disusul oleh
Thalhah dan Zubair. Ketiga tokoh ini nampaknya mempunyai harapan tipis bahwa
hukum akan ditegakkan. Karena menurut ketiganya, Ali sudah menetapkan kebijakan
sendiri karena ia didukung oleh kaum perusuh. Kemudian mereka dengan dukungan
dari keluarga Umayah menuntut balas atas kematian Utsman. Akhirnya mereka pergi
ke Basrah untuk menghimpun kekuatan dan di sana mereka mendapat dukungan
masyarakat setempat.
Ali
beserta pasukannya yang sudah berada di Kufah telah mendengar kabar bahwa di
Syria (Syam) Muawiyah telah bersiap-siap dengan pasukannya untuk menghadapi
Ali. Ali segera memimpin dan menyiapkan pasukannya untuk memerangi Mu’awiyah.
Namun sebelum rencana tersebut terlaksana, tiga orang tokoh terkenal yaitu
Aisyah tokoh terkenal Aisyah, Thalhah, dan Zubair beserta para pengikutnya di
Basrah telah siap untuk memberontak kepada Ali. Ali pun mengalihkan pasukannya
ke Basrah untuk memadamkan pemberontakan tersebut.
Aisyah
ikut berperang melawan Ali alasannya bukan semata menuntut balas atas kematian
Utsman, akan tetapi ada semacam dendam pribadi antara dirinya dengan Ali. Dia
masih teringat terhadap peristiwa tuduhan selingkuh terhadap dirinya (hadits
al-ifk), dimana pada waktu itu Ali memberatkan dirinya. Faktor lain adalah
persaingan dalam pemilihan jabatan khalifah dengan ayahnya, Abu Bakar, yang
kemudian disusul dengan sikap Ali yang tidak segera membai’at Abu Bakar, dan
yang terakhir ada faktor Abdullah bin Zubair, kemenakannya, yang berambisi
untuk menjadi khalifah, yang terus mendesak dan memprovokasi Aisyah agar
memberontak terhadap Ali.
Seperti
dikutip oleh Syalabi dari Ath-Thabari bahwa Pertempuran dalam peperangan Jamal
ini terjadi amat sengitnya, sehingga Zubai melarikan diri dan dikejar oleh
beberapa orang yang benci kepadanya dan menewaskannya. Begitu juga Thalhah
telah terbunuh pada permulaan perang ini, sehingga perlawanan ini hanya
dipimpin Aisyah hingga akhirnya ontanya dapat dibunuh maka berhentilah
peperangan setelah itu. Ali tidak mengusik-usik Aisyah bahkan dia
menghormatinya dan mengembalikannya ke Mekkah dengan penuh kehormatan dan
kemuliaan.
Menurut
Thabari peperangan jamal disebabkan oleh karena kenigninan dan nafsu
perseorangan yang timbul pada diri Abdullah bin Zubair dan Thalhah, dan oleh
perasaan benci Aisyah terhadap Ali. Abdullah bin Zubair bernafsu besar untuk
menduduki kursi khalifah dan kemudian menghasut Aisyah sebagai Ummul Mukminin
untuk segera memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib.
Dalam
pemerintahannya Ali ingin menerapkan aturan-aturan pokok untuk kepentingan umat
Islam secara keseluruhan. Aturan ini jelas bertentangan dengan mereka yang
ingin mengumpulkan kekayaaan termasuk Zubair dan Thalhah. Terlebih lagi Ali
sangat berhati-hati dalam pembagian rampasan perang. Ia memberi bagian yang
sama kepada semua orang tanpa memandang status, suku dan asal-usul
mereka.
C.
Perang
Shiffin dan Tahkim
Disebut
perang shiffin karena perang yang menghadapkan pasukan pendukung Ali dengan
pasukan pendukung Mu’awiyah berlangsung di Shiffin dekat tepian sungai Efrat
wilayah Syam, perang ini berlangsung pada bulan Shafar tahun 37H/658M.
Setelah
kematian Utsman, pihak keluarga Utsman dari Bani Umayah, dalam hal ini diwakili
oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menajdi gubernur di Syam sejak khalifah Umar
bin Khathab, mengajukan tuntutan atas kematian Utsman kepada Ali agar mengadili
dan menghukum para pembunuh khalifah Utsman berdasarkan syari’at Islam. Dalam
kondisi dan situasi yang sulit dan belum stabil pada waktu itu, nampaknya Ali
tidak sanggup untuk memenuhi tuntutan itu. Sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan
yang pada waktu menjabat gubernur Syam belum mengakui khalifah Ali di Madinah.
Akhirnya Ali mengirimkan utusan ke Damaskus ibu kota Syam, untuk mengajukan dua
pilihan kepada Mu’awiyah yaitu mengangkat bai’at atau meletakkan jabatan.
Tetapi Mu’awiyah tidak mau menentukan pilihan sebelum tuntutan dari keluarga
Umayah dipenuhi.
Dengan
alasan khalifah Ali tidak sanggup menegakkan hukum sesuai syari’at, juga
menuduh Ali dibalik pembunuhan Utsman, hal ini tidandai dengan tidak diambil
tindakan oleh Ali terhadap para pemberontak bahkan pemimpinnya Muhammad bin Abu
Bakar yang merupakan anak angkat Ali, diangkat menjadi gubernur Mesir, akhirnya
Mu’awiyah mengadakan kampanye besar-besaran di wilayahnya menentang Ali,
sehingga mendapat dukungan dan simpati dari mayoritas pengikut dan rakyat di
wilayah kekuasaannya. Kemudian Mu’awiyah menyiapkan pasukan yang besar untuk
melawan khalifah Ali. Walaupun menurut ahli sejarah, motivasi perlawanan Mu’awiyah
itu sebenarnya tidak murni menuntut balas atas kematian Utsman, tetapi ada
ambisi untuk menjadi khalifah.
Setelah
dibebastugaskan dari jabatannya ia menyingkir ke Palestina. Ia sebelumnya tidak
pernah ikut campur dalam poitik dan pemerintahan pada masa awal kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib. Dengan diiming-imingi jabatan oleh Mu’awiyah, akirnya ia
pun terjun lagi dalam hingar bingar dunia politik dan mempunyai peran yang
sangat penting dalam peristiwa perang Shiffin ini.
Setelah
selesai perang Jamal, Ali mempersiapkan pasukannya lagi untuk menghadapi
tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dengan dukungan pasukan dari Irak, Iran,
dan Khurasan dan dibantu pasukan dari Azerbeijan dan dari Mesir pimpinan
Muhammad bin Abu Bakr. Usaha-usaha untuk menghindari perang terus diusahakan
oleh Ali, dengan tuntutan membai’atnya atau meletakkan jabatan. Namun nampaknya
Mu’awiyah tetap pada pendiriannya untuk menolak tawaran Ali, bahkan Mu’awiyah
menuntut sebaliknya, agar Ali dan pengikutnya membai’at dirinya.
Perang
antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah pasukan Ali sudah hampir memperoleh
kemenangan, dan pihak tentara Mu’awiyah bersiap-siap melarikan diri. Tetapi
pada waktu itu ‘Amr bin Ash yang menjadi tangan kanan Mu’awiyah dan terkenal
sebagai seorang ahli siasat perang minta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an.
Dari
pihak Ali mendesak menerima tawaran tersebut. Akhirnya Ali dengan berat hati
menerima arbitrase tersebut, walaupun Ali mengetahui itu hanya sisat busuk dari
Amr bin Ash. Sebagai perantara dalam tahkim ini pihak Ali diwakili oleh Abu
Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash yang mewakili pihak Mu’awiyah. Sejarah mencatat
antara keduanya terdapat keepakatan untuk menjatuhkan Ali dan Mu’awiyah secara
bersamaan. Kemudian setelah itu dipilih seorang khalifah yang baru. Selanjutnya,
Abu Musa al-Aasy’ari sebagai orang tertua lebih dahulu mengumumkan kepada
khalayak umum putusan menjatuhkan kedua pimpinan itu dari dari jabatan-jabatan
masing-masing. Sedangkan Amr bin ‘Ash kemudian mengumumkan bahwa ia menyetujui
keputusan dijatuhkannya Ali dari jabatan sebagai Khalifah yang telah diumumkan
Abu Musa itu, maka yang berhak menjadi khalifah sekarang adalah Mu’awiyah.
Bagimanapun
peristiwa tahkim ini secara politik merugikan Ali dan menguntungkan Mu’awiyah.
Yang sah menjadi khalifah adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya hanya
sebagai seorang gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai
khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya naik menjadi khalifah, yang
otomatis ditolak oleh Ali yang tidak mau meletakkan jabatannya sebagai
khalifah.
Kesediaan
Ali mengadakan Tahkim juga tidak disetujui oleh sebagian tentaranya, mereka
sangat kecewa atas tindakan Ali dan menganggap bahwa tindakan itu tidaklah
berdasarkan hukum Al-Qur’an sehingga mereka keluar dari pendukung Ali.
Setelah
itu sebagian pasukan Ali tersebut memisahkan diri dan membentuk gerakan
sempalan yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum ‘Khawarij’. Pendapat dan
pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku arbitrase dianggap telah
kafir dalam arti telah keluar dari Islam karena tidak berhukum pada hukum
Allah. Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan
lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir.
Kaum
khawarij semula hanya merupakan gerakan pemberontak politik saja, tetapi
kemudian berubah menjadi sebuah aliran dalam pemahaman agama Islam
D.
Perpecahan
Umat Islam
Peristiwa
pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di
seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika
Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan
lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha
menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau,
sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya
Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih
melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai
Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya
mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya,
Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim
terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan
Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah,
dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut
dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa
pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu
kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah
diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup,
dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman
Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga
menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik
berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang
melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali
bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan
strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan
luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63
tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari
golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah,
pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal
21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada
beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
E.
Pengangkatan
Hasan Ibn Ali dan ‘Am al-jama’ah
Kepemimpinan
Ali bin Abi Thalib tidak pernah mengalami
keadaan stabil. Tak ubahnya beliau sebagai
seorang yang menambal kain usang, jangankan menjadi
baik justru sebaliknya bertambah sobek dan rusak.
Pada
saat Ali bin Abi Thalib bersiap-siap hendak mengirim bala tentaranya sekali
lagi untuk memerangi Mu’awiyah, muncullah suatu komplotan untuk mengakhiri
hidup Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ‘Amr bin al ‘Ash yang
dianggapnya penipu pada peristiwa takhkim (arbitrase).
Mereka
adalah dari golongan Khawarij yang mengutus Abdur Rahman bin Muljam ke
Kufah untuk membunuh Khalifah Ali, Barak bin Abdillah untuk membunuh Mu’awiyah
di Syam dan ‘Amr bin Bakr al Tamimi untuk membunuh ‘Amr bin al ‘Ash di Mesir
(Syalaby, 1971:306). Akan tetapi ketiga pembunuh itu hanyalah Ibnu Muljam yang
berhasil menjalankan misinya yaitu membunuh Khalifah Ali pada tanggal 20
Ramadlan 40 H(660 M). Kemudian Ibnu Muljam berhasil ditangkap dan akhirnya
dibunuh juga.
Dengan
berpulangnya Ali bin Abi Thalib ke rahmatullah
kedudukannya sebagai Khalifah digantikan dan dijabat oleh anaknya
yaitu Hasan Ibnu Ali bin Abi Thalib selama beberapa bulan. Namun
karena Hasan ternyata lemah sementara
Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertambah kuat, maka Hasan bin Ali
membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam
kembali dalam satu kepemimpinan politik dibawah pimpinan Mu’awiyah
bin Abi Sufyan. Pada tahun 41 H
(661 M) merupakan tahun persatuan, yang dikenal dalam
sejarah sebagai tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah).
Dengan
demikian berakhirlah apa yang disebut dengan masa khulafa’ al rasyidin dan
dimulailah kekuasaan Bani Umaiyyah dalam sejarah politik Islam (Yatim,
1998:41).
Hasan
Ibn Ali adalah putra sulung Ali bin Abi Thalib ra. Ia diangkat beramai-ramai
sebagai Khalifah oleh orang-orang Kufah setelah ayahnya wafat. Orang-orang yang
setia pada Ali turut berpartisipasi dalam pemilihan Hasan dan juga menerimanya
sebagai Khalifah yang baru. Tidak ada bukti yang menyatakan pertentangan
terhadap penobatan Hasan. Sedangkan pemilihan Hasan sebagai Khalifah dilakukan
secara spontan oleh sebagian besar rakyat Irak. Adapun alasan penunjukan
Hasan sebagai Khalifah adalah:
1.
Pada saat itu hampir semua sahabat istimewa
Rasulullah dikalangan kaum muhajirin telah meninggal, demikian juga anggota
elit terkemuka dalam masyarakat Islam telah wafat.
2.
Rakyat Makkah dan Madinah tidak akan menerima
Mu’awiyah menjadi pemimpin mereka. Karena bapaknya, Abu sofyan dianggap telah
menentang Rasulullah semasa hidupnya (Jafri, 1995:184-185).
Dengan
demikian dapat dipastikan bahwa Hasan memperoleh dukungan yang besar dari
rakyatnya, karena pada waktu itu yang menjadi rival dari Hasan adalah Mu’awiyah
putra Abu sufyan dan Hindun yang mempunyai reputasi buruk dimata rakyat Irak.
Selanjutnya antara keduanya terjadi ketegangan yang mereka lakukan dengan cara
korespondensi. Salah satu surat Hasan yang penting yang di tujukan kepada
Mu’awiyah mengatakan bahwa: “dirinya lebih berhak atas Khalifah ketimbang
Mu’awiyah dimata Allah dan semua insan yang mengetahui”. Dan jawaban Mu’awiyyah
intinya adalah: Mu’awiyah tidak mengingkari kedudukan tinggi Hasan dalam hubungannya
dengan Rasulullah dan kedudukannnya dalam Islam. Tetapi ia mengklaim
bahwa Hasan bukan kriteria pemimpin masyarakat. Bahwa persoalan kepemimpinan
adalah kepentingan negara dan masyarakat, sehingga perlu pemisahan yang jelas
antara prinsip politik dan religius. Itulah jawaban dari Mu’awiyah yang
mengandung gagasan pembentukan pemisahan antara kepemimpinan negara dan agama.
Pimpinan
negara hanya mengurusi pemerintahan sedangkan pimpinan agama khusus mengurusi
masalah-masalah agama. Sehingga pada waktunya,
masyarakat Muslim menempatkan kepemimpinan religius dan totalitas masyarakat
(jama’ah) sebagai penjaga agama dan eksponen al-quran
dan hadist, yang masih dalam otoritas
negara sebagai pengikat (Jafri, 1995:191-193).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Demikialah makalah ini dibuat, sebagai cacatan
penutup. Pemakalah dapat menarik suatu kesimpulan, antara lain:
1.
Ali ra. bekerja keras pada masa kekhilafahannya
guna mengembalikan stabilitas dalam tubuh umat Islam.
2.
Diantara strategi Khalifah Ali bin Abu Tholib,
yang berhasil dikembangkan adalah:
a.
Perkembangan di bidang pembangunan
b.
Perkembangan di bidang bahasa
c.
Perkembangan di bidang militer
d.
Perkembangan di bidang pemerintahan
e.
Memerangi khawarij
B.
Saran
Dalam
makalah ini tentunya masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang
membangun sangat diperlukan untuk penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_bin_Abi_Thalib
http://komed45.blogspot.com/2012/10/4-masa-kholifah-ali-bin-abi-thalib.html
http://alkamilok.wordpress.com/2008/09/16/ringkasan-keutamaan-ali-bin-abi-thalib/
http://majlas.yn.lt/
Perkembangan Islam Masa Khalifah Ali bin Abu Tholib.
http://dkm-alfurqon.blogspot.com/2008/07/ali-bin-abi-tholib.html
http://fileburhan.wordpress.com/2012/07/05/makalah-kepemimpinan-ali-bin-abu- thalib-by-burhannudin-fekon-uniska-bjm/
http://sdityasirukebonjeruk.blogspot.com/2012/10/sejarah-kepemimpinan-khalifah- ali-bin.html
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق