الأحد، 26 أبريل 2015

MAKALAH “Penyebab Timbulnya Sengketa Internasional dan Cara Penyelesaiannya oleh Mahkamah Internasional”


DOWNLOAD

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum ataufakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda. Dalam Case Concerning   East Timor  (Portugal vs. Australia), Mahkamah Internasional (ICJ) menetapkan 4 kriteria sengketa yaitu:

a)    Didasarkan pada kriteria-kriteria objektif. Maksudnya adalah dengan melihat fakta-fakta yang ada. Contoh: Kasus penyerbuan Amerika Serikat dan Inggris ke Irak
b)    Tidak didasarkan pada argumentasi salah satu pihak. Contoh: USA vs. Iran 1979 (Iran case). Dalam kasus ini Mahkamah Internasional dalam mengambil putusan tidak hanya berdasarkan argumentasi dari Amerika Serikat, tetapi juga Iran.

c)    Penyangkalan mengenai suatu peristiwa atau fakta oleh salah satu pihak tentang adanya sengketa tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa tidak ada sengketa. Contoh: Case Concerning the Nothern Cameroons 1967 (Cameroons vs. United Kingdom). Dalam kasus ini Inggris menyatakan bahwa tidak ada sengketa antara Inggris dan Kamerun, bahkan Inggris mengatakan bahwa sengketa tersebut terjadi antara Kamerun dan PBB. Dari kasus antara Inggris dan Kamerun ini dapat disimpulkan bahwa bukan para pihak yang bersengketa yang memutuskan ada tidaknya sengketa, tetapi harus diselesaikan/diputuskan oleh pihak ketiga.

d)    Adanya sikap yang saling bertentangan/berlawanan dari kedua belah pihak yang bersengketa. Contoh: Case Concerning the Applicability of the Obligation to Arbitrate under section 21 of the United Nations Headquarters agreement of 26 June 1947.

Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik. Cara-cara kekerasan yang digunakan tersebut akhirnya direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague Peace Conference pada tahun 1899 dan 1907, yang kemudian menghasilkan Convention on the Pacific Settlement of International Disputes 1907. Namun karena sifatnya yang rekomendatif dan tidak mengikat, konvensi tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa untuk melarang negara-negara melakukan kekerasan sebagai metode penyelesaian sengketa.
Perkembangan hukum internasional untuk menyelesaikan sengketa secara damai secara formal lahir dari diselenggarakannya Konferensi Perdamaian Den Haag (The Hague Peace Conference) tahun 1899 dan tahun 1907. Konferensi perdamaian ini menghasilkan: “The Convention on the Pacific Settlement of International Disputes (1907)”Karakteristik dari Sengketa Internasional adalah:

a)    Sengketa internasional yang melibatkan subjek hukum internasional (a Direct International Disputes), Contoh: Toonen vs. Australia. Toonen menggugat Australia ke Komisi Tinggi HAM PBB karena telah mengeluarkan peraturan yang sangat diskriminasi terhadap kaum Gay dan Lesbian. Dan menurut Toonen pemerintah Australia telah melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 26 ICCPR. Dalam kasus ini Komisi Tinggi HAM menetapkan bahwa pemerintah Australia telah melanggar Pasal 17 ICCPR dan untuk itu pemerintah Australia dalam waktu 90 hari diminta mengambil tindakan untuk segera mencabut peraturan tersebut.

b)    Sengketa yang pada awalnya bukan sengketa internasional, tapi karena sifat dari kasus itu menjadikan sengketa itu sengketa internasional (an Indirect International Disputes). Suatu perisitiwa atau keadaan yang bisa menyebabkan suatu sengketa bisa menjadi sengketa internasional adalahaadanya kerugian yang diderita secara langsung oleh WNA yang dilakukan pemerintah setempat. Contoh: kasus penembakan WN Amerika Serikat di Freeport. Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya    :
(a) Negosiasi   
(b)Enquir yaitau penyelidikan   
(c)Mediasi
(d)Konsiliasi
(e)Arbitrase
(f) Judicial Settlement atau Pengadilan   
(g) Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional    .
Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik. Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.


B.    Rumusan Masalah

1.    Apa penyebab timbulnya sengketa internasional?
2.    Bagaimana cara penyelesaian sengketa internasional?
3.    Bagaimana peran Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional?
4.    Bagaimana tahap-tahap penyelesaian sengketa internasional?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sengketa Internasional
 Sengketa internasional adalah suatu perselisihan antara subjek-subjek hukum internasional mengenai fakta, hukum atau politik dimana tuntutan atau pernyataan satu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lainnya.
Persengketaan bisa terjadi karena :
1. Kesalahpahaman tentang suatu hal.
2. Salah satu pihak sengaja melanggar hak / kepentingan negara lain.
3. Dua negara berselisih pendirian tentang suatu hal.
4. Pelanggaran hukum / perjanjian internasional.
Contoh sebab timbulnya sengketa internasional yang sangat potensial terjadinya perang terbuka :
1.    Segi Politis
(adanya fakta pertahanan / fakta perdamaian).
Pasca Perang Dunia II (1945) muncul dua kekuatan besar yaitu Blok Barat (NATO pimpinan AS) dan Blok Timur (PAKTA WARSAWA pimpinan Uni Soviet). Mereka bersaing berebut pengaruh di bidang Ideologi, Ekonomi, dan Persenjataan. Akibatnya sering terjadi konflik di berbagai negara, missalnya Krisis Kuba, Perang Korea (Korea Utara didukung Blok Timur dan Korea Selatan didukung Blok Barat), Perang Vietnam dll.
2.    Batas Wilayah.
Suatu Negara berbatasan dengan wilayah Negara lain. Kadang antar Negara terjadi ketidak sepakatan tentang batas wilayah masing – masing. Misalnya Indonesia dengan Malaysia tentang Pulau Sipadan dan Ligitan (Kalimantan). Sengketa ini diserahkan kepada Mahkamah Internasional dan pada tahun 2003 sengketa itu dimenangkan oleh Malaysia.
Dengan runtuhnya Blok Timur dengan ditandai runtuhnya Tembok Berlin tahun 1989 maka AS muncul sebagai kekuatan besar (Negara Adikuasa). Sehingga cenderung membawa dunia dalam tatanan yang bersifat UNIPOLAR artinya AS bertindak sebagai satu – satunya kekuatan yang mengendalikan sebagian besar persoalan di dunia. Akibatnya cenderung muncul sengketa di dunia internasional.

B.    Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:
1.    Prinsip itikad baik (good faith);
2.    Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;
3.    Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa ;
4.    Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;
5.    Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);
6.    Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu         sengketa prinsip exhaustion of local remedies);
7.    Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.
Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu:
a.    Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak;
b.    Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;          
c.    Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;
d.    Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.

C.    Tindakan Penyelesaian Sengketa Secara Politik atau Diplomatik
a) Negosiasi
Negosiasi adalah upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaan negosiasi ini, para pihak melakukan pertukaran pendapat dan usul untuk mencari kemungkinan tercapainya penyelesaian sengketa secara damai. Negosiasi dapat berbentuk bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.
b) Enquiry atau Penyelidikan
Enquiry atau penyelidikan adalah suatu proses penemuan fakta oleh suatu tim penyelidik yang netral. Prosedur ini dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul karena perbedaan pendapat mengenai fakta, bukan untuk
permasalahan yang bersifat hukum murni. Hal ini karena fakta yang mendasari suatu sengketa sering dipermasalahkan.
c) Mediasi
Mediasi adalah tindakan negara ketiga atau individu yang tidak berkepentingan dalam suatu sengketa internasional, yang bertujuan membawa ke arah negosiasi atau memberi fasilitas ke arah negosiasi dan sekaligus berperan serta dalam negosiasi pihak sengketa tersebut. Pelaksana mediasi disebut mediator. Mediator dapat dilakukan oleh pemerintah maupun individu.
d) Konsiliasi
Seperti cara mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah negara. Namun, bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Konsiliasi juga dapat diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa secara bersahabat dengan bantuan negara lain atau badan pemeriksa yang netral atau tidak memihak, atau dengan bantuan Komite Penasihat.

e) Good Offices (Jasa Baik)
Good offices (jasa baik) adalah tindakan pihak ketiga yang membawa ke arah terselenggaranya negosiasi, tanpa berperan serta dalam diskusi mengenai substansi atau pokok sengketa yang bersangkutan. Good offices akan terjadi apabila pihak ketiga mencoba membujuk para pihak sengketa untuk melakukan negosiasi sendiri.

D.    Peranan Mahkamah Internasional Dalam Menyelesaikan Sengketa Internasional
Ketentuan hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan antar negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3) Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar Negara. Deklarasi tersebut meminta agar“semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”.
Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini hanyalah penyelesaian perkara melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan dapat ditempuh melalui:   
a. Arbitrase Internasional
Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah
pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas
oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku
pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara
penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah
disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting
dalam arbitrase adalah;
(a) perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan
(b) sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. (Burhan Tsani,
1990; 211)
Secara  esensial,  arbitrase  merupakan  prosedur  konsensus,  karenanya persetujuan para pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.Pengadilan  arbitrase  dilaksanakan  oleh  suatu  “panel  hakim”  atau arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat; (a) persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase, (b) metode pemilihan panel arbitrase, (c) waktu dan tempat (dengar pendapat),(d) batasfakta yang harus dipertimbangkan, dan (e)  prinsip-prinsip  hukum  atau  keadilan  yang  harus diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990, 214)
Masyarakat internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase internasional, antara lain (a) Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang Internasional (Court  of  Arbitration  of  the  International  Chamber  of  Commerce)  yang didirikan di Paris, tahun 1919, (b) pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal  Internasional  (International  Centre  for  Settlement  of  Investment Disputes) yang berkedudukan di Washington DC, (c) Pusat Arbitrase Dagang Regional  untuk  Asia  (Regional  Centre  for  Commercial  Arbitration), berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia dan (d) Pusat Arbitrase Dagang Regional  untuk  Afrika  (Regional  Centre  for  Commercial  Arbitration), berkedudukan di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216)   
b. Pengadilan Internasional
Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa. Pasal  14  Liga  Bangsa-Bangsa  menugaskan  Dewan  untuk  menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ dari  Organisasi  Internasional  tersebut.  Hingga  pada  tahun  1945,  setelah berakhirnya  Perang  Dunia  II,  maka  negara-negara  di  dunia  mengadakan konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang baru.  Di  San  Fransisco  inilah,  kemudian  dirumuskan  Piagam  Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional. Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa Mahkamah Internasional  merupakan  organ  hukum  utama  dari  Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama,     karena banyak    nomor-nomor     dan    pasal-pasal  yang tidakmengalami

perubahan secara signifikan. Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk:   
a). Melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa,
yang didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa;
b). Memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat
nasehat.  Advisory  Opinion tidaklah  memiliki  sifat  mengikat  bagi  yang
meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu
keputusan  wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani,
1990; 217), sedangkan menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional sumber- sumber    hukum    internasional   yang  dipakai  oleh  Mahkamah  dalam mengadili perkara, adalah:   
a). Perjanjian  internasional  (international  conventions),  baik  yang  bersifat
umum, maupun khusus;   
b). Kebiasaan internasional (international custom);   
c). Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh
negara-negara beradab;   
d). Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah
diakui  kepakarannya,  yang  merupakan  sumber  hukum  internasional
tambahan.
Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex
aequo  et  bono,  yaitu  didasarkan  pada  keadilan  dan  kebaikan,  dan  bukan
berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar
negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya
final,  tidak  dapat banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga
diambil atas dasar suara mayoritas. Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara,
namun  semua  jenis  sengketa  dapat  diajukan  ke  Mahkamah  Internasional.
Masalah  pengajuan  sengketa  bisa  dilakukan  oleh  salah  satu  pihak  secara
unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika
tidak  ada  persetujuan,  maka  perkara  akan  di  hapus  dari  daftar  Mahkamah
Internasional,  karena  Mahkamah  Internasional  tidak  akan  memutus  perkara
secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum, fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda. Adapun Prinsip-Prinsip dalam  Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:
1)    Prinsip itikad baik (good faith);
2)    Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;
3)    Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa;
4)    Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;
5)    Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);
6)    Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies);
7)    Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.
Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu:
a.    Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah
b.    Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;
c.    Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;
d.    Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.

B.    Saran
Secara pribadi maupun sebagai bangsa Indonesia haruslah dapat memberikan kontribusi secara aktif dan perdamaian dunia. Sikap positif ini harus dapat kita tunjukkan apabila kita sebagai negara berdaulat terlibat suatu sengketa dengan negara lain diserahkan  kepada Mahkamah Internasional. Namun demikian, lebih jauh kita berharap agar jangan sampai ada persengketaan.






DAFTAR PUSTAKA

http://www.anneahira.com/sengketa-internasional.htm (15/03/2012)
Rejeki, Sri. 2006. Modul Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA/MA SMK/MAK.Surakarta: PT. Patama Mitra Aksara

Suwarni, Dra., dkk.2008. Kewarganegaraan Untuk SMA/MA Kelas XI.Jakarta.Arya Duta.

Yodha05.com

CONTACT PERSON



contact :
HP : 082376440306
Facebook : sbastian24@yahoo.co.id
Gmail : denibastian10@gmail.com

JASA FOTO DAN VIDEO ALL MOMENT JASA EDITING FOTO DAN VIDEO ALL MOMENT


WEB APLIKASI UNTUK SISWA ULANGAN ATAU TES

  KLIK DISINI UNTUK MENGGUNAKAN WEB APLIKASINYA terima kasih untuk guru hasil dari tes/ulangan siswa bisa dilihat di link bawah ini: https:/...