cari makalah yang lain: https://helloworld-i4ln6sgakq-
a. Pengertian
Agama Secara Etimologi
Pengertian agama secara etimologi,
kata agama berasal dari bahasa sangsekerta, yang berasal dari akar kata gam
artinya pergi, kemudian dari kata gam tersebutmendapat awalan a dan akhiran a,
maka terbentuklah kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan mencapai
kebahagiaan.
Di samping itu terdapat pendapat
yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa sangsekerta yang akar
katanya adalah a dan gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, arti
kata agama adalah tidak kacau atau teratur.
Kata religi - religion dan religio,
secara etimologi – menurut winker paris dalam algemene encyclopaedie mungkin
sekali dari bahasa latin, yaitu dari kata religere atau religare yang berarti
terikat, maka dimaksudkan bahwa setiap orang yang bereligi adalah orang yang
senantiasa merasa terikat dengan sesuatu yang dianggap suci. Kalau dikatakan
berasal dari kata religere yang berarti berhati hati, maka dimaksudkanbahwa
orang yang bereligi itu adalah orang yang senantiasa bersikap hati hati dengan
sesuatu yang dianggap suci.
Dari etimologis ketiga kata di atas maka dapat diambil
pengertian bahwa agama (religi, din): (1) merupakan jalan hidup
yang harus ditempuh oleh manusia untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram
dan sejahtera; (2) bahwa jalan hidup tersebut berupa aturan, nilai atau norma
yang mengatur kehidupan manusia yang dianggap sebagai kekuatan mutlak, gaib dan
suci yang harus diikuti dan ditaati. (3) aturan tersebut ada, tumbuh dan
berkembang bersama dengan tumbuh dan berkembangnya kehidupan manusia,
masyarakat dan budaya.
A.
Jenis
Makna Etimmologi
1)
Bahasa Inggris
Dalam
bahasa Inggris, kata “agama” diterjemahkan menjadi “religion”. Untuk mengkaji
kata “religion”, kami menggunakan metode yang sama dengan di atas, yakni melalui
metode etimologis
Makna Etimologis
Ada dua
pendapat mengenai asal-usul kata “agama”. Pertama, berasal dari bahasa
Indo-German, yaitu “gam”, identik dengan “go” dalam bahasa Inggris yang berarti
“jalan, cara berjalan, cara-cara sampai pada keridhaan Tuhan”. Namun, menurut
Sukardji, orang yang mengatakan bahwa kata “agama” berasal dari bahasa
Indo-German berarti belum mengetahui bahasa Sansekerta. Kedua, berasal dari
bahasa Sansekerta. Dalam kitab Upadeca tentang “Ajaran-ajaran Agama Hindu”,
disebutkan bahwa “agama” tersusun dari kata “a” yang berarti “tidak” dan “gam”
yang berarti “jalan”. Dalam bentuk harfiah, “agama” berarti “tetap di tempat,
langgeng, abadi, diwariskan secara terus-menerus dari generasi ke generasi”
(Sukardji, 1993: 26-27). Ada pula pendapat lain, yaitu “agama” berasal dari
kata “a” yang berarti “tidak”, dan “gama” yang berarti “kacau”. Maksudnya,
orang-orang yang memeluk suatu agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya, hidupnya
tidak akan kacau.
2)
Bahasa Arab
Makna Etimologis
Kata “agama”
dalam bahasa Arab diterjemahkan menjadi “ad-dien”. Munjied mengatakan bahwa
arti harfiah dari “ad-dien” cukup banyak, misalnya “pahala, ketentuan,
kekuasaan, peraturan, dan perhitungan”. Fairuzabadi dalam kamusnya, Al-Muhieth,
mengatakan bahwa arti harfiah “ad-dien” adalah “kekuasaan, kemenangan,
kerajaan, kerendahan, kemuliaan, perjalanan, peribadatan, dan paksaan”
(Sukardji, 1993: 28). Sedangkan menurut Harun Nasution, “ad-dien” mengandung
arti “menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan” (Jalaluddin,
1996: 12).
b.
Pengertian Agama Secara Terminology
Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia,
agama diartikan aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan
tuhan dan sesamanya. Dalam al-Qur’an agama sering disebut dengan istilah din.
Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga mempunyai
kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep yang ada pada
istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilah agama
dan religi.
A. Jenis
Makna Terminology
1)
bahasa Inggris
Makna Terminologis
Definisi yang diberikan para ahli sangat banyak. Saya sendiri menyimpan kira-kira 12 definisi. Namun, definisi-definisi itu hanya menampilkan salah satu segi agama saja. Saya hanya akan memberikan beberapa definisi saja yang menurut saya paling lengkap.
Webster New 20th Century Dictionary mengungkapkan bahwa definisi
“religion” adalah “the system of rules of conduct and law of action based upon
the recognition of belief in, and reverence for human power of supreme
authority”. Batasan itu menggambarkan bahwa “religion” adalah suatu sistem
peraturan-peraturan dari kegiatan yang semuanya itu didasarkan pada adanya
kepercayaan dan pegangan pada kekuatan yang Mahakuasa dan norma perilaku
manusia yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan
(Sukardji, 1993: 33)
2)
bahasa Arab
MaknaTerminologis
Sukardji memberikan definisi “ad-dien” sebagai “undang-undang kebutuhan yang mendorong dan menjiwai orang berakal dengan usahanya untuk sejahtera hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat” (Sukardji, 1993: 34-35)
c.
Islam Sebagai Objek Kajian
1.
Agama sebagai Gejala Budaya dan Sosial
Pada mulanya ilmu terbagi menjadi dua yaitu : ilmu
kealaman dan ilmu budaya. Ilmu kealaman, seperti fisika, kimia, biologi dan
lain-lain mempunyai tujuan utama mencari hukum-hukum alam, mencari
keterturan-keteraturan yang terjadi pada alam. Suatu penemuan yang di hasilkan
oleh seseorang pada suatu waktu mengenai suatu gejala atau sifat alam yang
dapat di tes kembali oleh peneliti lain, pada waktu lain dengan memperhatikan
gejala eksak.
Contoh, kalau sekarang air mengalir dari atas ke
bawah, besok kalau di tes lagi juga begitu. Itulah inti dari pada penelitian
dalam ilmu eksakta, yakni mencari keterulangan dari gejala-gejala, yang
kemudian diangkat menjadi teori, menjadi hukum.Sebaliknya, imu budaya mempunyai
sifat tidak berulang, tetapi unik. Contoh, budaya kratonYogya unik buat Yogya,
batu nisan seorang tokoh sejarah unik untuk yang bersangkutan, dan sebagainya. Di
sini tidak ada keterulangan. Kemudian, di antara penelitian kealaman dan budaya
itu terdapat penelitian ilmu-ilmu social Penelitian ilmu-ilmu social, berada di
antara ilmu budaya dan ilmu kealaman, yang mencoba memahami gejala-gejala yang
tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangannya.
Inti ilmu kealaman adalah positivisme. Sesuatu itu
baru di anggap sebagai ilmu kalau dapat di amati, (abservable) dapat di ukur,
(measurable) dan di buktikan (veriviable). Sebaliknya, ilmu budaya hanya dapat
di amati. Kadang-kadang tidak dapat di ukur, apabila diverifikasi. Ilmu soaial
yang memandang dirinya lebih dekat kepada ilmu alam mengatakan, bahwa ilmu
social dapat di amati, di ukur dan di verifikasi. Untuk itu, para pakar
Sosiologi Universitas Chicago mengembangkan sosiologi Kuantitatif yang lebih
menekankan pada perhitungan statistik. Di kalangan sosiologi Indonesia juga ada
dua kelompok : kelompok kualitatif dan kelompok kuantitatif. Keduanya mempunyai
kelemahan dan kekuatan. Timbulnya pertanyaan : Bisakah agama di dekati secara
kualitatif atau kuantitatif? Jawabannya, bisa agama di dekati, secara
kuntitatif dan kualitatif sekaligus, atau salah satunya, tergantung agama yang
sedang diteliti itu di lihat sebagai gejala apa. Ada lima bentuk gejala agama
yang perlu diperhatikan kalau kita hendak mempelajari suatu agama. Pertama,
scripture, naskah-naskah smuber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para
penganut atau pemimpin dan pemuka agama, yakni sikap, perilaku,dan penghayatan
para penganutnya.Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat,
seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat,seperti
masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi
keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul
Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Katolik, Gereja Protestan, Syi’ah dan
lain-lain.
Dalam penelitian mengenai naskah atau sumber-sumber
ajaran agama, yang pertama diteliti adalah personal pholologi dan kedua adalah
isi naskah yang ada. Misalnya, dalam Islam, memebahas Al-Qur’an dan isinya,
kritik atas jemaah orang lain, kitab tafsir atau penafsir seseorang, kitab
hadis, naskah-naskah sejarah agama, dan sebagainya. Orang dapat pula meneliti
ajaran atau pemikiran-pemikiran yang berkembang sepanjang sejarah suatu agama
(Islam).
Mengenai agama sebagai gejala sosial, pada dasarnya
bertumpu pada konsep sosiologi agama. Pada zaman dahulu, sosiologi agama
memepelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat
mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Belakangan, sosiologi
agama mempelajati bukan soal hubungan timbal balik itu, melainkan lebih pada
pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat: bagaimana agama sebagai system
nilai mempengaruhi tingkah laku masyarakat. Bagaimanapun juga, ada juga
pengaruh masyarakat terhadap pemikiran keagamaan. Orang tentu sepakat bahwa
lahirnya teologi Syi’ah,Khawarij, Shli Sunnah wal Jamaah sebagai produk
pertikaian politik. Oleh karena itu, dapat juga diteliti bagaimana perkembangan
masyarakat industri mempengaruhi pemikiran keagamaan. Contoh, kita hidup di
kampung dan di sebelah rumah kita ada masjid. Kalau kita tidak pernah kelihatan
shalat Jum’at di situ, kita akan dianggap kurang saleh dalam beragama. Tetapi
kalau kita tinggal di kota, walau setahun kita tidak pernah kelihatan shalat
Jum’at di masjid kampung itu, kita tidak di anggap kurang saleh dalam beragama.
Mengapa? Karena indikasi kesalehan telah bergeser dan berbeda bagi orang desa
dan kota. Kehidupan kota telah menyebabkan pergeseran itu; perkembangan
masyarakat telah mempengaruhi cara berfikir orang mengenai penilaian kesalehan.
2.
Islam sebagai Wahyu dan Produk Sejarah
Islam sebagai Wahyu
Islam biasanya didefinisikan sebagai berikut:
al-Islam wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Sallallahu ‘alaihi
wasallam lisa’adati al-dunya wa al-akhirat (Islam adalah wahyu yang di turunkan
kedapa nabi Muhammad saw sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat). Jadi, inti Islam adalah wahyu yang di turunkan kepada Nabi Muhammad.
Kita percaya bahwa wahyu itu terdiri atas dua macam: wahyu yang berbentuk
Al-Qur’an dan wahyu yang berbentuk
hadis, sunnah nabi Muhammad.
a.
Wahyu yang berbentuk Al-Qur’an
Tujuan studi Al-Qur’an bukan mempertanyakan
kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu, tetapi misalnya mepertanyakan: bagaimana
cara membaca Al-Qur’an, kenapa cara membacanya begitu, berapa macam jenis
bacaan itu, siapa yang menggunakan jenis-jenis bacaan itu, apa kaitannya dengan
bacaan sebelumnya, apa yang sesungguhnya yang melatar belakangi lahirnya suatu
ayat, apa maksud ayat itu.Maka lahirlah misalnya tafsir maudu’i yang merupakan
salah satu bentuk jawaban terhadap pertanyan-petanyaan tersebut di atas.
Pertanyaan selanjutnya, kalau dahulu dipahami begitu, apakah sekarang masih harus
dipahamu sama ataukah perlu pemahaman baru.
Satu hal yang patut di perhatikan dalam studi
Al-Qur’an, yaitu studi interdisipliner mengenai Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an
selain berbicara mengenai keimanan, ibadah, atura-aturan, juga berbicara
tentang sebagian isyarat-isyarat ilmu pengetahuan. Maka ilmu-ilmu seperti
sosiologi, botani, dan semacamnya, perlu dipelajari untuk memahami ayat-ayat
Al-Qur’an dengan ilmu-ilmu lain.Di sini di butuhkan studi interdisipliner.
b.
Wahyu yang berbentuk Hadis Nabi
Selanjutnya, Islam sebagai wahyu yang di cerminkan
dalam hadis-hadis Nabi Muhammad saw.Sebagaimana dalam buku hadis pertama,
Al-Muwatta’, yang dikumpulkan ternyata hanya memuat sekitar 700 buah hadis,
termasuk sunnah sahabat.Sementara itu oleh Imam Bukhari yang datang belakangan
dicatat 4.000 hadis, dan oleh Imam Muslim dicatat 6.000 hadis. Lalu oleh Imam
Ahmad bin Hanbal dicatat 8.500 hadis. Kemudian hadis shahih, hadis mutawatir,
hadis mashur, dan hadis ahad. Wilayah-wilayah ini antara lain yang dapat
dijadikan kajian. Kita melihat, bahwa orang sekarang mempunyai perlengkapan
lebih untuk melakukan seleksi hadis. Sebab sekarang misalnya kita memiliki komputer.
Kita mengetahui dalam sejarah adanya pemalsuan
hadis. Kita juga mengetahui bahwa Imam Bulhari, Imam Muslim atau Imam Malik
lebih dahulu melakukan wudhu’ dan shalat sebelum mencatat hadisnya.Hal ini
dilakukan sebagai usaha kehati-hatian. Imam Muslim dalam pengantarnya
mengatakan, tadinya hadis yang di kumpulkannya ada 300.000 (tiga ratus ribu)
buah. Tetapi setelah di seleksi menjadi 6.000 buah.
Hadis mengenai psikologi, pendidikan, iptek, dan
sebagaimya, perlu dikelompokkan dan dibandingkan dengan hasil penemuan ilmu
modern. Hadis mengenai idza waqa’a al-dzubabu fi inai ahadikum falyaqmishu
(ketika sadar lalat terjatuh ke dalam bejanamu, maka benamkanlah), telah di
terangkan misalnya dalam kitab Subulu al- Salam, bahwa sebabnya adalah di sayap
kana ada ini dan di sayap kiri ada itu. Sebetulnya penjelasan terhadap hadis
ini memerlukan suatu upaya untuk mencoba mengadakan studi interdisipliner
terhadap hadis, barangkali memerlukan ilmu entemologi, ilmu tentang serangga.
Islam sebagai Produk Sejarah dan Sasaran penelitian
Ada bagian Islam yang merupakan produk sejarah.Teologi Syi’ah adalah dari wajah Islam produk sejarah. Konsep Khulafa al- Rasyidin adalah produk sejarah, karena nama ini muncul belakangan. Seluruh bangunan sejarah Islam klasik, tengah modern adalah produk sejarah.
Andaikata Islam tidak bergumul dengan budaya Jawa, sejarahnya di Indonesia akan lain lagi. Andaikata Inggris tidak datang ke India, sejarah Islam di anak benua itu akan lain lagi. Demikianlah sebagian wajah Islam di berbagai belahan dunia adalah produk sejarah.
Ada bagian Islam yang merupakan produk sejarah.Teologi Syi’ah adalah dari wajah Islam produk sejarah. Konsep Khulafa al- Rasyidin adalah produk sejarah, karena nama ini muncul belakangan. Seluruh bangunan sejarah Islam klasik, tengah modern adalah produk sejarah.
Andaikata Islam tidak bergumul dengan budaya Jawa, sejarahnya di Indonesia akan lain lagi. Andaikata Inggris tidak datang ke India, sejarah Islam di anak benua itu akan lain lagi. Demikianlah sebagian wajah Islam di berbagai belahan dunia adalah produk sejarah.
Filsafat Islam, kalam, fikih, ushul fikih juga
produk sejarah. Tasawuf, dan akhlak, sebagai ilmu adalah produk sejarah. Akhal
sebagai nilai sumber dari wahyu, tetapi sebagai ilmu yang disistematisir akhlak
adalah produk sejarah. Kebudayaan Islam klasik, tengah, modern, arsitektur
Islam, seni lukis, music, bentuk-bentuk masjid Timur Tengah, di Jawa, bentuk
pagoda dan di Cina serta kesamaannya dengan bentuk beberapa masjid di Jawa
merupakan bagian kebudayaan Islam yang dapat dijadikan obyek studi dan
penelitian. Demikian juga seni dan metode baca Al-Qur’an yang berkembang di
Indonesia, adalah produk sejarah.
d.
Kesimpulan
Kata
“agama” ternyata sangat sulit didefinisikan. Sebabnya adalah mungkin karena
agama berbentuk keyakinan (Jalaluddin, 1996: 11). Namun, dengan melakukan
metode etimologis dan terminologis, kita paling tidak dapat membayangkan makna
dari kata “agama”. Selain itu, ternyata “agama” mempunyai hasil translate
ke beberapa bahasa lain yang kesemuanya itu dapat “membongkar” makna dan
pengertian dari kata “agama”.
Penelitian
ke-Islaman merupakan suatu keharusan, yaitu meneliti tentang ajaran Islam dari
berbagai aspeknya, termasuk normatif dan aktualitasnya. Pengkajian Islam
normatif dimaksudkan adalah penelaahan lebih jauh ajaran Islam yang bersumber
dari Alquran dan Sunnah Nabi yang berimplikasi pada lahirnya aturan-aturan
normatif yang lain, seperti persoalan fikih, teologi, dan tasawuf. Aspek
normatif adalah pengkajian Islam atas refleksi keagamaan secara fakultas, agar
perkembangan masyarakat muslim semakin maju. Sementara pengkajian non-normatif
adalah pengkajian terhadap aspek antropologis, sosiologis, dan historis umat
Islam itu sendiri.
Plisss nama penulis artikel ini siapa?
ردحذف